02 November 2008

Supir taksi yang informatif dan komunikatif, layanan plus-plus juga

Sebenarnya saya ingin menuliskan posting ini kemarin, tapi karena sudah tak berdaya melawan kantuk yah apa boleh baut eh buat, baru sekarang saya ceritakan. Dari judul anda pasti sudah bisa menebak saya mau cerita soal apa. Yups, seratus untuk Anda! Saya mau bercerita tentang pengalaman naik taksi. Bagi Anda yang mungkin seorang bussinesman atau bussineswomen yang sering menggunakan jasa transportasi taksi tentu sudah tak asing lagi dengan berbagai macam merek eh perusahaan taksi yang ada di Jakarta ini. Dari mulai blue bird, sampai ke taksi-taksi yang gak jelas namanya tapi ngikut-ngikut warna dan accesoris blue bird. Lho ini mau cerita apa kok malah ngelantur yah? :)

Kemarin tanggal 01 November 2008, saya diajak eh diminta mengantar teman pergi ke Two Manggoes (tau kan, yang orang Jakarta pasti tau). Teman saya itu hendak beli komputer, karena komputernya sudah rusak dimakan umur mungkin. Saat mencari taksi saya tanya ke dia mau naik taksi yang mana. Jawabnya terserah saja, dalam pikiran saya yang ada saat itu hanya blue bird atau express taksi, untuk taksi yang lain nanti saja lah. Dan tak berapa lama taksi express pun datang. Nah ini inti dari postingan saya kali ini, silakan disimak:

Saya :"Mangga Dua Pak!"
Supir : "Iya pak! ITC yah pak?"
Saya : "Bukan, Dusit Pak, depannya ITC."
Supir : "Ooo ... apartemen yah pak?"
Saya : "Bukan, saya cuman di bawahnya kok bukan di apartemennya" (nggak
ngeh kalau di dusit itu juga ada apartemen)
Supir : "Dari daerah yah pak?"
Saya : (sempet mikir dulu, supir ini pasti ngira saya dan teman saya orang dusun
yang baru hijrah di Jakarta trus mau jalan-jalan ke kota) "Nggak pak,
nggak salah lagi, tapi dulu ... dulu dari daerah sekarang dah jadi warga sini
pak."
Supir : "O.. kalau gitu sama, saya juga pendatang kok"
Teman : "Darimana pak?"
Supir : "Abdi saking Medang ie"
Saya : "Weleh-weleh, dari Medan bahasanya Sunda."
Teman : "Sudah berapa lama pak di sini?"
Supir : "Baru, baru 35 tahun kok."
Saya : (lagi-lagi saya tercengang, masak 35 tahun jadi supir taksi) "Hayah, baru
tapi baru 35 tahun."
Supir : "Saya 35 tahun merantau ke Jawa maksudnya, pernah 22 tahun di Sunda,
jadi banyak bahasa yang saya bisa. Bahasa jawa juga, malah lebih ngerti
bahasa krama inggil (kalau yang orang jawa tahu neh) daripada bahasa
ngapak-ngapak (mungkin maksudnya bahasa cirebon atau pemalang kali)
Saya : (wah hebat juga neh supir)
Supir : "Saya tuh berasal dari Medan, tapi saudara saya banyak yang keturunan
Jawa, istri abang saya juga keturunan orang Jawa. Tapi kalo saya tanya
silsilahnya yang ada di Jawa sudah gak tahu lagi. Karena yang pertama ke
Medan itu adalah Kakek buyutnya."
Saya : "Wah bahasa aslinya Batak dong yah pak?"
Supir : "Eh ... jangan salah, bahasa Medan bukan bahasa Batak, bahasanya bahasa
Melayu. Malah ada cerita yang datang duluan ke Medan itu justru Jawa
dulu sebenarnya daripada Batak. Di sana gak ada yang namanya pasar,
yang ada pajak, di sana gak ada yang namanya motor yang ada kereta."
Saya : "Manggut-manggut aja, ooo ... gitu. Memang sih kalau saya lihat di lampung
memang daerah-daerahnya namanya mirip di Jawa, tapi apa bahasanya
juga."
Supir : "Ya tentu saja, malah bahasa aslinya menghilang, bahasa Lampung sendiri
gak pernah kedengaran. Sampai-sampai nama-namanya juga nama jawa."

(ceritanya cukup segini aja yah, takut menyinggung, soalnya sudah ada kata-kata suku)

Yang saya mau sampaikan, bentuk pelayanan yang sering terlupakan oleh para penjual jasa adalah layanan plus-plus, informatif dan komunikatif (dalam artian yang positif). Rasa-rasanya perjalanan yang cukup melelahkan dari tempat saya naik sampai ke tujuan tidak begitu terasa karena diselingi dengan gelak tawa saling komunikasi antara saya, teman saya, dan si supir. Tentunya akan berbeda halnya jika dalam perjalanan itu tidak ada komunikasi. Ini hanyalah sedikit pengalaman yang baru saja saya alami. Bagaimana dengan Anda yang sering menggunakan taksi? Apakah puas dengan layanan yang ada?